Ini Alasan Mengapa Para Ayah Harus Memperhatikan Kebutuhan Ibu Menyusui, Termasuk Kebutuhan Pakaian Busui-friendly

Kalau Ibu hamil ditanya soal benda apa saja yang harus disiapkan menjelang persalinan, hampir bisa dipastikan bahwa pakaian 'busui-friendly' termasuk dalam list mandatori, selain seabreg pernak-pernik perlengkapan bayi yang lucu-lucu itu.






 Busui adalah singkatan dari Ibu menyusui, sedangkan pakaian busui-friendly adalah pakaian yang bersahabat alias ramah bagi ibu menyusui. Ciri khas pakaian busui-friendly adalah memiliki kancing atau resleting di bagian dada. Dengannya, Ibu akan mudah untuk menyusui anaknya. Di antara sekian banyak hal yang mesti dipersiapkan para Ibu agar sukses menyusui, pakaian ini tak boleh ketinggalan.


Tapi pernahkah anda mengira bahwa kebutuhan pakaian 'busui-friendly' bagi ibu-ibu ini turut mendapat perhatian spesifik di dalam Alquran?



Dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 233, Allah berfirman, yang artinya:



“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi rizqi dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah menderita karena anaknya. Dan ahli warisnya pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”



Ayat di atas sering digunakan sebagai dasar anjuran untuk menyempurnakan penyusuan hingga dua tahun. Namun, bukan hanya itu. Ayat di atas sebenarnya berisi anjuran agar para Ayah memperhatikan kebutuhan para Ibu menyusui, salah satunya, kebutuhan akan pakaian.






Selain itu, ayat ini juga membahas pembagian peran Ibu dan Ayah yang tengah berjibaku dengan kewajiban membesarkan bayinya.





Memperhatikan Kebutuhan Ibu Menyusui



Perhatikan bagian,



“Dan kewajiban ayah memberi rizqi dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.”



Kata “rizqi” oleh sebagian ulama diartikan sebagai “makan”. Kita tahu bahwa untuk menghasilkan ASI yang berkualitas dan banyak, seorang Ibu mesti mengonsumsi makanan yang bergizi tinggi, seperti sayuran hijau, daging, serta buah-buahan, dan makanan yang memicu munculnya mood positif (tenang dan bahagia) seperti cokelat dan pisang. Makanan bergizi tinggi penting untuk kualitas ASI yang bagus. Sementara makanan pemicu mood positif penting untuk kelancaran ASI, sebab produksi ASI akan bergantung pada suasana hati/mood Ibu, jika Ibu tenang, bahagia, lewat prosedur hormonal, insya Allah produksi ASI akan berlimpah.



Meski demikian, kata rizqi juga secara umum berarti nafkah. Artinya, bukan hanya makanan. Bisa juga termasuk : Terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman dan nyaman (misalnya terkait tempat tinggal dan kendaraan), kebutuhan akan kesehatan, dan lain lain.  Dan kewajiban tersebut dibebankan kepada Ayah. Artinya, persoalan menyusui pada hakikatnya bukan hanya tanggung jawab Ibu saja. Alquran secara gamblang menerangkan bahwa Ayah pun punya peran dalam menyukseskan pemberian ASI.



Selain itu, yang menarik, selain memberi rizqi atau makanan atau nafkah, dalam ayat di atas Ayah juga diwajibkan untuk memberikan pakaian. Muncul pertanyaan, mengapa mesti pakaian? Mengapa pakaian disebutkan secara spesifik? Dan pakaian apa yang dimaksud?



Memang tak disebutkan secara detail pakaian yang seperti apa yang dimaksud.  Namun, akal kita dapat memaknainya. Bahwa pakaian yang dimaksud adalah pakaian yang memudahkan para Ibu untuk menyusui, alias pakaian yang busui-friendly.



Apakah gamis, atau blus. Kalau gamis, apakah yang model A-line atau klok. Apakah yang bahannya jersey, balotelli, woolpeach, atau katun jepang. Apakah yang pakai kancing atau zipper. Tentu ayat ini tidak sedetail deskripsi produk di online shop. Hanya saja, esensinya dapat kita pahami bahwa yang penting pakaian tersebut friendly alias bersahabat, nyaman, aman, bagi Ibu menyusui. Mungkin termasuk friendly di kantong juga, ya.



Sebagai Ibu yang ingin menyusui dengan sukses, dan sebagai muslimah yang tetap ingin menjaga auratnya, seorang perempuan tentu membutuhkan pakaian yang ‘busui-friendly’ dan tetap menutup aurat. Begitu besar perhatian Allah terhadap kenyamanan para Ibu sehingga Allah, melalui ayat ini, secara eksplisit mengingatkan para Ayah untuk memperhatikan pakaian istrinya. Tentu setelah melahirkan, tidak semua pakaian lama bisa digunakan lagi. Ibu menyusui butuh pakaian yang memiliki bukaan di depan, cukup longgar supaya tubuhnya, yang biasanya  bertambah bobotnya usai hamil dan melahirkan, tertutupi dengan baik (tidak ketat), juga kerudung/hijab yang cukup lebar untuk menutupi dada.



Masya Allah. Sekali lagi, Alquran secara gamblang menerangkan bahwa Ayah pun punya peran penting dalam menyukseskan pemberian ASI.



Sampai di sini, siapa yang langsung berniat untuk men-tag suaminya untuk membaca tulisan ini? Hehe. Ibu-ibu langsung punya 'senjata’ baru deh untuk minta gamis dan kerudung baru. Eits, tapi tunggu dulu, Bu. Tahan dulu jempolnya. Tulisannya belum selesai, dan justru tulisan berikut adalah bagian yang tak kalah penting, bahkan ini sangat esensial.



Bukan Menuntut, Tapi Memahami



Hal lain yang dapat kita pelajari dari ayat ini adalah soal pola hubungan suami dan istri pasca dikaruniai anak (khususnya saat anak masih bayi).



Perhatikan potongan ayat selanjutnya,



 "Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah menderita karena anaknya.“



Potongan ayat ini masih berkaitan dengan potongan sebelumnya, yakni tentang kewajiban para ayah untuk memenuhi kebutuhan ibu dengan cara yang ma'ruf. Kata ”ma'ruf“ ada ulama yang mengartikannya sebagai "sesuai kemampuan.” Maksudnya, para ayah mesti berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan kewajiban itu selama jalannya halal. Ditegaskan lagi lewat kalimat “Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” Artinya bahwa Allah sudah menjamin bahwa beban hidup akan sesuai dengan kemampuan.



“Jadi, jangan takut memiliki anak karena khawatir soal rezeki.”



Belum selesai sampai di situ, ayat ini juga menggambarkan secara implisit bagaimana kondisi psikologis ayah dan ibu saat dikaruniai anak.



Ibu, secara psikologis, akan berusaha memenuhi semua kebutuhan anaknya. Sehingga seringkali Ibu mengorbankan banyak hal, terutama dirinya sendiri, demi anaknya. Untuk itu, tak jarang ibu merasa menderita karena anaknya. Menderita di sini maksudnya adalah merasa lelah secara fisik, ditambah lelah secara psikis. Di sinilah ayat ini memberi pencerahan kepada para ayah agar jangan sampai membiarkan para ibu mengurusi anaknya sendirian sehingga mereka menderita karenanya. Sederhananya, hai para Ayah, bantulah para Ibu dalam merawat dan membesarkan anak.



Di saat yang sama, para ayah pun secara psikologis akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan ibu dan anaknya. Ayah pun berkorban banyak hal. Apalagi secara naluriah para ibu akan menuntut lebih kepada para ayah dalam urusan nafkah. Di sinilah ayat ini memberi pencerahan pada para ibu agar jangan sampai menuntut para ayah (dalam memberi nafkah) melebihi kadar kemampuannya. Sederhananya, kalau suami Ibu belum sanggup membelikan gamis rancangan desainer kenamaan, ya Ibu jangan menuntut terlalu banyak. Kan masih banyak toh gamis busui-friendly yang lucu dan ramah di kantong.



Secara garis besar, bagian ini meminta para ayah dan para ibu untuk saling memahami, bukan saling menuntut. Bukan berarti karena kewajiban menyusui diberikan kepada para Ibu, para ayah jadi lepas tangan. Bukan juga berarti karena kewajiban memberi nafkah dan pakaian diberikan kepada para ayah, para ibu berhak menuntut para ayah sesuka hatinya, melebihi kadar kemampuan para ayah. Yang benar adalah, masing-masing melaksanakan perannya dengan maksimal dan di saat yang sama saling membantu serta memahami peran satu sama lain. Indah luar biasa ayat ini, bukan?





Bermusyawarah, Budaya Wajib Ayah dan Ibu dalam Membesarkan Anak



“Dan ahli warisnya pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”



Poin terakhir yang menjadi poin penting dalam ayat ini adalah soal pentingnya bermusyawarah, bersepakat, berdiskusi, antar ayah dan ibu dalam membesarkan anaknya. Memang dalam ayat ini secara eksplisit dibahas mengenai penyapihan, yakni pembolehan untuk menyapih sebelum usia dua tahun jika ayah dan ibu telah sepakat dan rela (setelah bermusyawarah).



 Namun, jika kita lihat secara umum, hal ini bukan hanya berlaku dalam pemutusan soal penyapihan. Logikanya, dalam urusan sesederhana penyapihan saja ayah dan ibu dianjurkan untuk bermusyawarah, apalagi dalam urusan-urusan lain seperti metode pendidikan di rumah, peraturan di rumah, sampai pilihan sekolah. Bermusyawarah adalah budaya wajib dalam membesarkan anak. Kembali lagi, membesarkan anak adalah tanggung jawab ayah dan ibu, bukan ibu saja, bukan ayah saja. Sehingga, baik ayah dan ibu harus memutuskan bersama-sama soal apapun yang berkaitan dengan membesarkan anak.



Subhaanallah. Masya Allah.



Di sinilah kesempurnaan kitab suci Al-Qur'an patut kita syukuri. Begitu pentingnya penyusuan (dan bukti-bukti ilmiahnya pun telah kita ketahui) sampai-sampai Allah, melalui kitab-Nya, memberi pedoman dalam perkara penyusuan dan penyapihan, juga soal pengasuhan anak secara umum. Ayat ini hanyalah satu dari sekian banyak ayat soal pengasuhan yang patut kita ketahui dan kita amalkan.



Silakan tulisan ini di-share, di-tag ke suami/istri Anda, tapi jangan berhenti di tag dan share ya. Apalagi pakai embel-embel, “Tuh Ayah, baca ini…” atau “Bu, jangan kayak gini yaa.”



Setelah share dan tag, lanjutkan dengan diskusi dan bermusyawarah. Langsung kita amalkan poin kedua dan ketiga : saling memahami, bukan menuntut; dan membudayakan bermusyawarah, bukan sekadar menyuruh pasangan untuk membaca.



Sesungguhnya ayat ini begitu adil bagi ayah dan ibu. Semoga kita pun bisa menjadi adil. Aamiin. Selamat berjuang hai para Ibu dan Ayah!



________



1.      Disarikan dan dikembangkan dari kuliah Tafsir Ahkam Ibu Hj. Titin Suprihatin, M.Hum, 20 Desember 2016



2.      Disampaikan kembali oleh M. Ahsan Ibadurrahman



3.      Dituliskan oleh Urfa Qurrota Ainy