Pada hari pernikahanku, saya menggendong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan apartment kami. Rekan-rekan memaksaku menggendong istriku keluar dari mobil. Lantas saya menggendongnya ke rumah kami. Dia tersipu malu-malu. Waktu itu, saya yaitu seorang pengantin pria yang kuat serta bahagia.
Hari-hari berikutnya jalan umum. Kami mempunyai seseorang anak, saya bekerja sebagai entrepreneur serta berupaya membuahkan duit lebih. Saat aset-aset perusahaan bertambah, kasih sayang di antara saya serta istriku seperti mulai alami penurunan.
Istriku seseorang pegawai pemerintah. Tiap-tiap pagi kami pergi berbarengan serta pulang nyaris di saat yang berbarengan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami tampak begitu bahagia, tetapi kehidupan yang tenang kelihatannya lebih gampang terpengaruh oleh beberapa pergantian yang tidak terduga.
Lantas Jane datang kedalam kehidupanku.
Hari itu hari yang cerah. Saya berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti tenggelam didalam cintanya. Apartment ini saya belikan untuk dia.
Lantas Jane berkata, “Kau yaitu lelaki yang pintar memikat wanita. ” Kata-katanya mendadak mengingatkan ku pada istriku. Saat kami baru menikah, istriku berkata “Laki-laki sepertimu, saat berhasil kelak, bakal memikat beberapa wanita. ” Pikirkan hal ini, saya jadi beberapa sangsi. Saya tahu, saya sudah mengkhianati istriku.
Saya menyampingkan tangan Jane serta berkata, “Kamu butuh pilih sebagian furniture, ok? Ada yang butuh saya kerjakan di perusahaan. ” Dia tampak tak suka, lantaran saya sudah berjanji bakal temaninya melihat-lihat furniture. Sebentar, fikiran untuk bercerai jadi makin terang walaupun terlebih dulu terlihat tidak mungkin. Bagaimanapun juga, bakal susah untuk mengatakannya pada istriku. Tak perduli selembut apa pun saya mengatakannya, dia bakal begitu terluka. Sejujurnya, dia yaitu seseorang istri yang baik. Tiap-tiap malam, dia senantiasa repot buat persiapan makan malam. Saya duduk di depan tv. Makan malam bakal selekasnya ada. Lalu kami melihat TV berbarengan. Hal semacam ini terlebih dulu adalah hiburan bagiku.
Satu hari saya ajukan pertanyaan pada istriku dengan bercanda, “Kalau umpamanya kita bercerai, apa yang bakal anda kerjakan? ” Dia menatapku sebagian waktu tanpa ada berkata apa pun. Nampaknya dia seseorang yang yakin kalau perceraian akan tidak datang padanya. Saya tak dapat memikirkan bagaimana reaksinya saat kelak dia paham kalau saya serius mengenai ini.
Saat istriku datang ke kantorku, Jane segera pegi keluar. Nyaris semuanya pegawai lihat istriku dengan pandangan simpatik serta coba sembunyikan apa yang tengah terjadi saat bicara dengannya. Istriku seperti memperoleh sedikit panduan. Dia tersenyum dengan lembut pada bawahan-bawahanku. Namun saya lihat ada perasaan luka di matanya.
Sekali lagi, Jane berkata padaku, “Sayang, ceraikan dia, ok? Lantas kita bakal hidup berbarengan. ” Saya mengangguk. Saya tahu saya tak dapat beberapa sangsi lagi.
Saat saya pulang malam itu, istriku tengah mempersiapkan makan malam. Saya menggemgam tangannya serta berkata, “Ada yang menginginkan saya bicarakan. ” Dia lalu duduk serta makan dalam diam. Lagi, saya lihat perasaan luka dari matanya.
Tiba-tiba saya tak dapat buka mulutku. Namun saya mesti tetaplah menyampaikan ini pada istriku. Saya menginginkan bercerai. Saya mengawali pembicaraan dengan tenang.
Dia seperti tak terganggu dengan kata-kataku, demikian sebaliknya jadi ajukan pertanyaan dengan lembut, “Kenapa? ”
Saya hindari pertanyaannya. Hal semacam ini membuatnya geram. Dia melempar sumpit serta berteriak padaku, “Kamu bukanlah seseorang pria! ” Malam itu, kami tak sama-sama bicara. Dia menangis. Saya tahu, dia menginginkan mencari tahu apa yang tengah berlangsung didalam pernikahan kami. Namun saya susah memberinya jawaban yang memuaskan, kalau hatiku sudah pilih Jane. Saya tak mencintainya lagi. Saya cuma mengasihaninya!
Dengan perasaan bersalah, saya bikin kesepakatan perceraian yang menyebutkan kalau istriku dapat memiliki tempat tinggal kami, mobil kami serta 30% aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu serta lalu merobek-robeknya. Wanita yang sudah menggunakan 10 th. hidupnya denganku sudah jadi seseorang yang asing bagiku. Saya menyesal lantaran sudah menyia-nyiakan saat, daya serta tenaganya namun saya tak dapat menarik kembali apa yang sudah saya katakan lantaran saya begitu menyukai Jane. Pada akhirnya istriku menangis dengan keras di depanku, yang sudah saya perkirakan terlebih dulu. Bagiku, tangisannya yaitu sejenis pelepasan. Fikiran mengenai perceraian yang sudah penuhi diriku sepanjang sebagian minggu belakangan, saat ini jadi terlihat tegas serta terang.
Hari berikutnya, saya pulang terlambat serta lihat istriku menulis suatu hal di meja makan. Saya tak makan malam, namun segera tidur serta tertidur dengan cepat lantaran sudah sepanjang hari berbarengan Jane.
Saat saya terbangun, istriku masihlah di sana, menulis. Saya tak mempedulikannya serta segera kembali tidur.
Paginya, dia menyerahkan prasyarat perceraiannya : Dia tak inginkan apa pun dariku, cuma inginkan perhatian selama satu bulan sebelumnya perceraian. Dia memohon dalam 1 bln. itu kami berdua mesti berupaya hidup sebiasa mungkin saja. Alasannya simpel : Anak kami tengah hadapi ujian dalam satu bulan itu, serta dia tidak ingin mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.
Saya sepakat saja dengan permintaannya. Tetapi dia memohon satu lagi, dia memohonku untuk meingat bagaimana menggendongnya saat saya membawanya ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.
Dia memohonnya selama 1 bln. sehari-hari, saya menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu depan tiap-tiap pagi. Saya fikir dia gila. Saya terima permintaannya yang aneh lantaran cuma menginginkan bikin hari-hari paling akhir kebersamaan kami lebih gampang di terima olehnya.
Saya memberitahu Jane mengenai prasyarat perceraian dari istriku. Dia tertawa keras serta berpikir kalau hal semacam itu terlalu berlebih. “Trik apa pun yang dia pakai, dia mesti tetaplah hadapi perceraian! ”, kata Jane, dengan suara mengejek.
Istriku serta saya telah lama tak lakukan kontak fisik sejak hasrat untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, saat saya menggendongnya di hari pertama, kami berdua terlihat canggung. Anak kami tepuk tangan di belakang kami. Tuturnya, “Papa menggendong ibu! ” Kata-katanya bikin ku terasa terluka. Dari kamar ke ruangan tamu, lantas ke pintu depan, saya jalan sejauh 10 mtr., dengan dianya dipelukanku. Dia tutup mata serta berbisik padaku, “Jangan katakan anak kita tentang perceraian ini. ” Saya mengangguk, terasa sedih. Saya menurunkannya di depan pintu. Dia pergi untuk tunggu bus untuk bekerja. Saya sendiri naik mobil ke kantor.
Hari ke-2, kami berdua lebih gampang melakukan tindakan. Dia bertumpu di dadaku. Saya dapat mencium wangi dari bajunya. Saya tersadar, telah lama saya tak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Saya sadar dia telah tak muda lagi, ada garis halus di berwajah, rambutnya memutih. Pernikahan kami sudah membuatnya sulit. Sebentar saya terheran, apa yang sudah saya kerjakan kepadanya.
Hari ke empat, saat saya menggendongnya, saya terasa rasa kedekatan seperti kembali pada. Wanita ini yaitu seorang yang sudah memberi 10 th. kehidupannya padaku.
Hari ke lima serta ke enam, saya sadar rasa kedekatan kami makin bertumbuh. Saya tak menyampaikan ini pada Jane. Seiring waktu berjalan makin gampang menggendongnya. Mungkin saja karena saya rajin olahraga membuatku makin kuat.
Satu pagi, istriku tengah pilih baju yang dia ingin gunakan. Dia coba beberpa baju namun tak temukan yang cocok. Lalu dia menghela nafas, “Pakaianku semuanya jadi besar. ” Tiba-tiba saya tersadar kalau dia sudah jadi begitu kurus. Ini lah argumen saya dapat menggendongnya dengan gampang.
Mendadak saya terpukul. Dia sudah memendam rasa sakit serta kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa ada sadar saya menyentuh kepalanya.
Anak kami datang waktu itu serta berkata, “Pa, telah waktunya menggendong ibu keluar. ” Untuk anak kami, lihat ayahnya menggendong ibunya keluar sudah jadi arti utama dalam kehidupannya. Istriku melambai pada anakku untuk mendekat serta memeluknya erat. Saya mengalihkan wajahku lantaran takut saya bakal beralih fikiran ketika terakhir. Lalu saya menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruangan tamu, ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Saya menggendongnya dengan erat, seperti saat hari pernikahan kami.
Namun berat tubuhnya yang enteng membuatku sedih. Pada hari paling akhir, saat saya menggendongnya, susah sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami sudah pergi ke sekolah. Saya menggendongnya dengan erat serta berkata, “Aku tak memperhatikan bila sampai kini kita kurang kedekatan. ”
Saya pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa ada mengunci pintunya. Saya takut, penundaan apa pun bakal merubah fikiranku. Saya jalan keatas, Jane buka pintu serta saya berkata kepadanya, “Maaf, Jane, saya tidak ingin perceraian. ”
Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. “Kamu demam? ”, tanyanya. Saya singkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane, saya katakan, saya akan tidak bercerai. ” Kehidupan pernikahanku sampai kini membosankan mungkin saja lantaran saya serta istriku tak menilainya semua detil kehidupan kami, bukanlah lantaran kami tak sama-sama mencintai. Saat ini saya sadar, mulai sejak saya menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, saya mesti selalu menggendongnya hingga maut memisahkan kami.
Jane seperti mendadak tersadar. Dia menamparku keras lalu membanting pintu serta lari sembari menangis. Saya turun serta pergi keluar.
Di toko bunga, saat saya berkendara pulang, saya pesan satu buket bunga untuk istriku. Penjual bertanya padaku apa yang ingin saya catat di kartunya. Saya tersenyum serta menulis, saya bakal menggendongmu tiap-tiap pagi hingga maut memisahkan kita.
Sore itu, saya hingga tempat tinggal, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku, saya lari ke kamar atas, cuma untuk temukan istriku terbaring ditempat tidur – wafat. Istriku sudah melawan kanker sepanjang berbulan-bulan serta saya sangat repot dengan Jane hingga tak memperhatikannya. Dia paham dia bakal selekasnya wafat, serta dia menginginkan menyelamatku dari reaksi negatif apa pun dari anak kami, kalau kami jadi bercerai. — Sekurang-kurangnya, di mata anak kami — saya yaitu suami yang penyayang.
Beberapa hal kecil didalam kehidupanmu yaitu yang paling utama dalam satu jalinan. Bukanlah tempat tinggal besar, mobil, property atau duit di bank. Semuanya menunjang kebahagian namun tak dapat memberi kebahagian tersebut. Jadi, cari saat untuk jadi rekan untuk pasanganmu, serta kerjakan beberapa hal yang kecil berbarengan untuk bangun kedekatan itu. Punyai pernikahan yang sungguh-sungguh serta bahagia.
Bila anda tak berbagi ini, akan tidak terjadi apa-apa kepadamu. Bila berbagi, mungkin saja anda menyelamatkan satu pernikahan. Banyak kegagalan dalam kehidupan lantaran orang tak sadar begitu dekat mereka dengan keberhasilan saat mereka sudah menyerah.
Hari-hari berikutnya jalan umum. Kami mempunyai seseorang anak, saya bekerja sebagai entrepreneur serta berupaya membuahkan duit lebih. Saat aset-aset perusahaan bertambah, kasih sayang di antara saya serta istriku seperti mulai alami penurunan.
Istriku seseorang pegawai pemerintah. Tiap-tiap pagi kami pergi berbarengan serta pulang nyaris di saat yang berbarengan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan pernikahan kami tampak begitu bahagia, tetapi kehidupan yang tenang kelihatannya lebih gampang terpengaruh oleh beberapa pergantian yang tidak terduga.
Lantas Jane datang kedalam kehidupanku.
Hari itu hari yang cerah. Saya berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku seperti tenggelam didalam cintanya. Apartment ini saya belikan untuk dia.
Lantas Jane berkata, “Kau yaitu lelaki yang pintar memikat wanita. ” Kata-katanya mendadak mengingatkan ku pada istriku. Saat kami baru menikah, istriku berkata “Laki-laki sepertimu, saat berhasil kelak, bakal memikat beberapa wanita. ” Pikirkan hal ini, saya jadi beberapa sangsi. Saya tahu, saya sudah mengkhianati istriku.
Saya menyampingkan tangan Jane serta berkata, “Kamu butuh pilih sebagian furniture, ok? Ada yang butuh saya kerjakan di perusahaan. ” Dia tampak tak suka, lantaran saya sudah berjanji bakal temaninya melihat-lihat furniture. Sebentar, fikiran untuk bercerai jadi makin terang walaupun terlebih dulu terlihat tidak mungkin. Bagaimanapun juga, bakal susah untuk mengatakannya pada istriku. Tak perduli selembut apa pun saya mengatakannya, dia bakal begitu terluka. Sejujurnya, dia yaitu seseorang istri yang baik. Tiap-tiap malam, dia senantiasa repot buat persiapan makan malam. Saya duduk di depan tv. Makan malam bakal selekasnya ada. Lalu kami melihat TV berbarengan. Hal semacam ini terlebih dulu adalah hiburan bagiku.
Satu hari saya ajukan pertanyaan pada istriku dengan bercanda, “Kalau umpamanya kita bercerai, apa yang bakal anda kerjakan? ” Dia menatapku sebagian waktu tanpa ada berkata apa pun. Nampaknya dia seseorang yang yakin kalau perceraian akan tidak datang padanya. Saya tak dapat memikirkan bagaimana reaksinya saat kelak dia paham kalau saya serius mengenai ini.
Saat istriku datang ke kantorku, Jane segera pegi keluar. Nyaris semuanya pegawai lihat istriku dengan pandangan simpatik serta coba sembunyikan apa yang tengah terjadi saat bicara dengannya. Istriku seperti memperoleh sedikit panduan. Dia tersenyum dengan lembut pada bawahan-bawahanku. Namun saya lihat ada perasaan luka di matanya.
Sekali lagi, Jane berkata padaku, “Sayang, ceraikan dia, ok? Lantas kita bakal hidup berbarengan. ” Saya mengangguk. Saya tahu saya tak dapat beberapa sangsi lagi.
Saat saya pulang malam itu, istriku tengah mempersiapkan makan malam. Saya menggemgam tangannya serta berkata, “Ada yang menginginkan saya bicarakan. ” Dia lalu duduk serta makan dalam diam. Lagi, saya lihat perasaan luka dari matanya.
Tiba-tiba saya tak dapat buka mulutku. Namun saya mesti tetaplah menyampaikan ini pada istriku. Saya menginginkan bercerai. Saya mengawali pembicaraan dengan tenang.
Dia seperti tak terganggu dengan kata-kataku, demikian sebaliknya jadi ajukan pertanyaan dengan lembut, “Kenapa? ”
Saya hindari pertanyaannya. Hal semacam ini membuatnya geram. Dia melempar sumpit serta berteriak padaku, “Kamu bukanlah seseorang pria! ” Malam itu, kami tak sama-sama bicara. Dia menangis. Saya tahu, dia menginginkan mencari tahu apa yang tengah berlangsung didalam pernikahan kami. Namun saya susah memberinya jawaban yang memuaskan, kalau hatiku sudah pilih Jane. Saya tak mencintainya lagi. Saya cuma mengasihaninya!
Dengan perasaan bersalah, saya bikin kesepakatan perceraian yang menyebutkan kalau istriku dapat memiliki tempat tinggal kami, mobil kami serta 30% aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu serta lalu merobek-robeknya. Wanita yang sudah menggunakan 10 th. hidupnya denganku sudah jadi seseorang yang asing bagiku. Saya menyesal lantaran sudah menyia-nyiakan saat, daya serta tenaganya namun saya tak dapat menarik kembali apa yang sudah saya katakan lantaran saya begitu menyukai Jane. Pada akhirnya istriku menangis dengan keras di depanku, yang sudah saya perkirakan terlebih dulu. Bagiku, tangisannya yaitu sejenis pelepasan. Fikiran mengenai perceraian yang sudah penuhi diriku sepanjang sebagian minggu belakangan, saat ini jadi terlihat tegas serta terang.
Hari berikutnya, saya pulang terlambat serta lihat istriku menulis suatu hal di meja makan. Saya tak makan malam, namun segera tidur serta tertidur dengan cepat lantaran sudah sepanjang hari berbarengan Jane.
Saat saya terbangun, istriku masihlah di sana, menulis. Saya tak mempedulikannya serta segera kembali tidur.
Paginya, dia menyerahkan prasyarat perceraiannya : Dia tak inginkan apa pun dariku, cuma inginkan perhatian selama satu bulan sebelumnya perceraian. Dia memohon dalam 1 bln. itu kami berdua mesti berupaya hidup sebiasa mungkin saja. Alasannya simpel : Anak kami tengah hadapi ujian dalam satu bulan itu, serta dia tidak ingin mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.
Saya sepakat saja dengan permintaannya. Tetapi dia memohon satu lagi, dia memohonku untuk meingat bagaimana menggendongnya saat saya membawanya ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami.
Dia memohonnya selama 1 bln. sehari-hari, saya menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu depan tiap-tiap pagi. Saya fikir dia gila. Saya terima permintaannya yang aneh lantaran cuma menginginkan bikin hari-hari paling akhir kebersamaan kami lebih gampang di terima olehnya.
Saya memberitahu Jane mengenai prasyarat perceraian dari istriku. Dia tertawa keras serta berpikir kalau hal semacam itu terlalu berlebih. “Trik apa pun yang dia pakai, dia mesti tetaplah hadapi perceraian! ”, kata Jane, dengan suara mengejek.
Istriku serta saya telah lama tak lakukan kontak fisik sejak hasrat untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, saat saya menggendongnya di hari pertama, kami berdua terlihat canggung. Anak kami tepuk tangan di belakang kami. Tuturnya, “Papa menggendong ibu! ” Kata-katanya bikin ku terasa terluka. Dari kamar ke ruangan tamu, lantas ke pintu depan, saya jalan sejauh 10 mtr., dengan dianya dipelukanku. Dia tutup mata serta berbisik padaku, “Jangan katakan anak kita tentang perceraian ini. ” Saya mengangguk, terasa sedih. Saya menurunkannya di depan pintu. Dia pergi untuk tunggu bus untuk bekerja. Saya sendiri naik mobil ke kantor.
Hari ke-2, kami berdua lebih gampang melakukan tindakan. Dia bertumpu di dadaku. Saya dapat mencium wangi dari bajunya. Saya tersadar, telah lama saya tak sungguh-sungguh memperhatikan wanita ini. Saya sadar dia telah tak muda lagi, ada garis halus di berwajah, rambutnya memutih. Pernikahan kami sudah membuatnya sulit. Sebentar saya terheran, apa yang sudah saya kerjakan kepadanya.
Hari ke empat, saat saya menggendongnya, saya terasa rasa kedekatan seperti kembali pada. Wanita ini yaitu seorang yang sudah memberi 10 th. kehidupannya padaku.
Hari ke lima serta ke enam, saya sadar rasa kedekatan kami makin bertumbuh. Saya tak menyampaikan ini pada Jane. Seiring waktu berjalan makin gampang menggendongnya. Mungkin saja karena saya rajin olahraga membuatku makin kuat.
Satu pagi, istriku tengah pilih baju yang dia ingin gunakan. Dia coba beberpa baju namun tak temukan yang cocok. Lalu dia menghela nafas, “Pakaianku semuanya jadi besar. ” Tiba-tiba saya tersadar kalau dia sudah jadi begitu kurus. Ini lah argumen saya dapat menggendongnya dengan gampang.
Mendadak saya terpukul. Dia sudah memendam rasa sakit serta kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa ada sadar saya menyentuh kepalanya.
Anak kami datang waktu itu serta berkata, “Pa, telah waktunya menggendong ibu keluar. ” Untuk anak kami, lihat ayahnya menggendong ibunya keluar sudah jadi arti utama dalam kehidupannya. Istriku melambai pada anakku untuk mendekat serta memeluknya erat. Saya mengalihkan wajahku lantaran takut saya bakal beralih fikiran ketika terakhir. Lalu saya menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruangan tamu, ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Saya menggendongnya dengan erat, seperti saat hari pernikahan kami.
Namun berat tubuhnya yang enteng membuatku sedih. Pada hari paling akhir, saat saya menggendongnya, susah sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami sudah pergi ke sekolah. Saya menggendongnya dengan erat serta berkata, “Aku tak memperhatikan bila sampai kini kita kurang kedekatan. ”
Saya pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa ada mengunci pintunya. Saya takut, penundaan apa pun bakal merubah fikiranku. Saya jalan keatas, Jane buka pintu serta saya berkata kepadanya, “Maaf, Jane, saya tidak ingin perceraian. ”
Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. “Kamu demam? ”, tanyanya. Saya singkirkan tangannya dari kepalaku. “Maaf, Jane, saya katakan, saya akan tidak bercerai. ” Kehidupan pernikahanku sampai kini membosankan mungkin saja lantaran saya serta istriku tak menilainya semua detil kehidupan kami, bukanlah lantaran kami tak sama-sama mencintai. Saat ini saya sadar, mulai sejak saya menggendongnya ke rumahku di hari pernikahan kami, saya mesti selalu menggendongnya hingga maut memisahkan kami.
Jane seperti mendadak tersadar. Dia menamparku keras lalu membanting pintu serta lari sembari menangis. Saya turun serta pergi keluar.
Di toko bunga, saat saya berkendara pulang, saya pesan satu buket bunga untuk istriku. Penjual bertanya padaku apa yang ingin saya catat di kartunya. Saya tersenyum serta menulis, saya bakal menggendongmu tiap-tiap pagi hingga maut memisahkan kita.
Sore itu, saya hingga tempat tinggal, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku, saya lari ke kamar atas, cuma untuk temukan istriku terbaring ditempat tidur – wafat. Istriku sudah melawan kanker sepanjang berbulan-bulan serta saya sangat repot dengan Jane hingga tak memperhatikannya. Dia paham dia bakal selekasnya wafat, serta dia menginginkan menyelamatku dari reaksi negatif apa pun dari anak kami, kalau kami jadi bercerai. — Sekurang-kurangnya, di mata anak kami — saya yaitu suami yang penyayang.
Beberapa hal kecil didalam kehidupanmu yaitu yang paling utama dalam satu jalinan. Bukanlah tempat tinggal besar, mobil, property atau duit di bank. Semuanya menunjang kebahagian namun tak dapat memberi kebahagian tersebut. Jadi, cari saat untuk jadi rekan untuk pasanganmu, serta kerjakan beberapa hal yang kecil berbarengan untuk bangun kedekatan itu. Punyai pernikahan yang sungguh-sungguh serta bahagia.
Bila anda tak berbagi ini, akan tidak terjadi apa-apa kepadamu. Bila berbagi, mungkin saja anda menyelamatkan satu pernikahan. Banyak kegagalan dalam kehidupan lantaran orang tak sadar begitu dekat mereka dengan keberhasilan saat mereka sudah menyerah.